Minggu, 15 Januari 2012

Alternatif Solusi mengenai Daerah Kerja PPAT di Kota Surabaya

Tulisan ini merupakan ringkasan dari tulisan rekan Miftachul Machsun dengan judul : " SILANG SENGKARUT TENTANG DAERAH KERJA PPAT DI KOTA SURABAYA"


Dalam tulisan tersebut penulis menjabarkan terlebih dahulu mengenai apakah tugas pokok PPAT, apakah dia merupakan seorang "pembantu" ( Kepala ) Kantor Pertanahan sebagaimana diambil dari pasal 6 ayat 2 PP 24/1997 ? Makna sebenarnya kata "dibantu" tidaklah menimbulkan hubungan sub ordinasi ( atas bawahan ) antara PPAT dan BPN, melainkan mandiri dan sederajat ( karena BPN sendiri tidak mempunyai kewenangan khususnya dalam pencatatan atas perubahan data yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, catatan saya = singkatnya BPN tidak mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik, BPN hanya berwenang untuk melakukan pencatatan pendaftarannya ); oleh karena itu istilah yang tepat untuk memformulasikan hubunganantara PPAT dan BPN adalah kata MITRA bukan Pembantu. PPAT bukanlah hamba dari BPN dan BPN bukanlah majikan dari PPAT ! ( Catatan saya = Jika masih ada pemikiran seperti ini, sudah selayaknya pemikiran ala orde baru ini direformasi ! )

Khusus mengenai pembahasan tentang Daerah Kerja ( wilayah jabatan ) penulis mengajak pembaca untuk berpikir secara konseptual dan kontekstual dalam memaknai arti ketentuan "Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten" yaitu dengan mengkaitkannya dengan ketentuan2 yang tercantum dalam Surat Pengangkatan PPAT dari Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI, dihubungkan pula dengan pasal 13 PP 37/1998 jo pasal 6 Perkaban 1/2006 (tentang Daerah Kerja PPAT), pasal 14 ayat 2 PP 37/1998 dan penjelasannya jo pasal 7 Perkaban 1 /2006 ( tentang Formasi PPAT ), pasal 20 ayat 2 PP 37/11998 jo pasal 48 ayat 2 Perkaban 1/2006 ( tentang cap/stempel jabatan PPAT), pasal 49 dan pasal 50 Perkaban 1/2006 (tentang papan nama dan kop surat PPAT, pasal 10 PP 24/19978 (tentang satuan wilayah pendaftaran tanah), maka sesungguhnya daerah kerja ( wilayah jabatan) PPAT Kota Surabaya adalah meliputi seluruh wilayah Kota Surabaya, bukan menurut wilayah kerja kantor-kantor pertanahan yang ada di Kota Surabaya.

Dalam bagian berikutnya penulis mengungkapkan bahwa kewajiban untuk memilih daerah Kerja bagi seorang PPAT yang telah menjabat di suatu daerah (Kota/Kabupaten) menurut ketentuan pasal 12 dan pasal 13 PP 37/1998 jo pasal 5 dan pasal 6 Perkaban 1/2006 hanya terjadi apabila Kota/kabupaten tersebut dipecah/dimekarkan menjadi dua atau lebih, dimana PPAT harus memilih adalah jangka waktu maksimal 1 tahun sejak diundangkannya UU tentang pembentukan Kota/Kabupaten yang baru tersebut. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan tersebut PPAT tidak memilih, maka demi hukum daerah kerjanya hanya meliputi wilayah Kota/kabupaten di tempat kantornya terletak.

Bagaimana kalau yang dimekarkan/dipecah adalah Kantor Pertanahannya ?
Jawabannya sebenarnya sangat sederhana : Daerah kerja PPAT sehubungan dengan terjadinya pemecahan Kantor Pertanahan belum atau sengaja tidak diatur. Kesengajaan ini sangat wajar, oleh karena memang Daerah kerja PPAT memang dari semula dimaksudkan meliputi seluruh wilayah Kota/ Kabupaten.
Oleh karena itu tindakan menganalogikan atau menyamakan pemecahan kantor Pertanahan dengan pemecahan Kota/Kabupaten yang pada akhirnya menimbulkan dampak bagi PPAT yang telah ada untuk memilih salah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan sebagai daerah kerjanya merupakan tindakan yang sangat tidak tepat dan membahayakan.
Dikatakan sebagai tindakan yang sesat atau membahayakan, oleh karena dapat menimbulkan berbagai macam akibat hukum antara lain :

  1. sejak tgl 6 Maret 2010 ( yaitu 1 tahun sejak berlakunya Perkaban no 9/2009 ttg Pemekaran kantor Pertanahan Kota Surabaya ), demi hukum seharusnya semua PPAT di Kota Surabaya harus menjalankan jabatannya dengan wilayah jabatan (daerah kerja) sesuai letak kantornya berada di wilayah kerja kantor Pertanahan Surabaya I atau Surabaya II, maka terhitung sejak tanggal 6 maret 2010 sampai saat ini seluruh akta yang dibuat diluar wilayah kerjanya tersebut menjadi cacad atau batal, apabila otentisitas akta merupakan syarat keberadaan atas suatu perbuatan hukum ( misal : hak tanggungan), maka hak tersebut tidak pernah ada, oleh akrena aktanya cacad ( Catatan saya = Betapa luar biasanya potensi kerugian yang diderita Bank-bank apabila mereka hanya menjadi Kreditur Konkuren ).
  2. terjadinya banyak pelanggaran dalam pelaksanaan tugas jabatan PPAT ( misalnya penanda tanganan akta diluar wilayah jabatannya, adanya keberadaan kantor PPAT disamping kantor notaris ) ( catatan saya: Alasan BPN agar di adakan pemilihan daerah kerja bagi PPAT Kota Surabaya yang telah ada adalah demi efektifitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh BPN; menurut saya justru hal ini akan semakin tidak efektif dan efisien, karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT dan sebagai Pembina BPN akan menerima getahnya )
Terhadap silang sengkarut ini penulis memberikan alternatif solusi, antara lain :
  1. Menunda kewajiban untuk memilih daerah kerja samapai dengan adanya perubahan atas PP 37 /1998 yang mengatur tentang daerah kerja PPAT sehubungan dengan terjadinya pemekaran Kantor Pertahanan;
  2. Mematuhi isi penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara nomor 123/G/2011/PTUN.SBY yang menunda pelaksanaan Keputusan Kantor Pertanahan Surabaya I dan Surabaya II, tanggal 7 Nopember 2011 berturut-turut nomor 2640/8-35.78/XI/2010 dan nomor 1523/2.100.35.80/XI/2010 dan Surat Kakanwil BPN Propinsi jawa Timur tanggal 22 Nopember 2011, nomor 2011/11-35-300/XI/2011 selalam pemeriksaan sengketa Tata usaha Negara berjalamn sampai dengan adanya Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
  3. Kepala BPN mengeluarkan surat baru yang berisi atau menyatakan bahwa Surat tertanggal 12 Agustus 2011 nomor 3002/17.3/VIII/2011 perihal mohon petunjuk daerah kerja PPAT di Kota Surabaya tidak mempunyai akibat hukum dan tidak perlu ditindaklanjuti;
  4. Memberikan pelayanan kepada PPAT yang tidak dapat memilih daerah kerja seperti sebelum tanggal*24 Nopember 2011;
  5. BPN dan PPAT yang tidak dapat memilih mengadakan pertemuan untuk mencari solusi lain yang benar dan berdasarkan hukum.
Penulis menutupnya dengan pesan agar masing-masing pihak berkenan untuk melepaskan keangkuhan masing-masing, agar penyelesaian yang baik, benar, beradap dan berdasarkan hukum akan segera tercapai.